Jakarta, CNN Indonesia — Produk Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan tengah menjadi sorotan banyak pihak. Buruh sedang berjuang agar pemerintah mencabut aturan JHT terbaru.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Dalam aturan teranyar tersebut, JHT baru dapat cair 100 persen ketika pekerja memasuki usia pensiun, yakni 56 tahun. Sementara, dalam aturan sebelumnya JHT dapat cair 100 persen dengan masa tunggu satu bulan sejak mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tak ayal, buruh meradang melihat aturan baru JHT. Mereka yang terkena PHK atau mengundurkan diri karena situasi tak bisa langsung mencairkan JHT, tetapi harus menunggu sampai usia 56 tahun.
Ngomong-ngomong soal JHT, produk sejenis ini sebenarnya juga dapat dibuat secara mandiri di perusahaan asuransi atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
Perencana Keuangan OneShildt Budi Raharjo mengatakan banyak produk yang bisa dijadikan pos tabungan untuk hidup setelah masa pensiun atau sudah tak lagi produktif. Masyarakat bisa memilih produk di perusahaan asuransi atau DPLK.
“Ini harus disiplin, agar disiplin harus dipotong setiap bulan, bisa DPLK yang auto debit gaji,” ucap Budi kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/2).
Idealnya, kata Budi, masyarakat mulai menyiapkan biaya untuk hari tua sejak awal bekerja. Hal ini agar persentase gaji yang dipotong untuk disisihkan ke tabungan hari tua tak terlalu besar.
“Kalau ditunda-tunda, dana ideal yang harus dikeluarkan per bulan semakin berat,” ucap Budi.
Berdasarkan perhitungan Budi, jika seseorang mulai bekerja saat usia 25 tahun dan langsung daftar produk tabungan hari tua di perusahaan asuransi atau jadi peserta di DPLK, maka dana yang harus disisihkan sekitar 15 persen-20 persen dari total gaji.
“15 persen-20 persen kesannya besar, tapi jangan lupa bahwa dengan bertambahnya karir, potensi income naik. Jadi harusnya memang meningkatkan penghasilan sejak muda supaya bisa merencanakan berbagai kebutuhan hari tua untuk beli aset atau pensiun,” papar Budi.
Sebagai gambaran, jika gaji saat baru memulai karir sekitar Rp5 juta, maka dana yang harus disisihkan untuk hari tua minimal Rp750 ribu-Rp1 juta per bulan.
“Dengan menyisihkan 15 persen-20 persen harapannya gaya hidup setelah pensiun bisa sederhana, seperti mendapatkan gaji setara UMP,” terang Budi.
Namun, jika seseorang baru mulai membeli produk tabungan hari tua atau DPLK di usia 35 tahun, maka dana yang harus disisihkan mencapai 30 persen dari total gaji. Hal ini agar dana yang terkumpul saat masa pensiun tetap ideal.
“Nanti kontribusi (dana yang dikeluarkan) beda lagi saat sudah ada keluarga, jadi memang gaya hidup harus dipertimbangkan, jangan terlalu jor-joran,” jelas Budi.
Ia mengatakan dana yang harus disisihkan dalam membuat dana pensiun atau tabungan hari tua idealnya memang jauh lebih besar ketimbang JHT.
Berdasarkan aturan pemerintah, pekerja hanya perlu menyisihkan 2 persen dari total gaji per bulan untuk membayar iuran JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan. Lalu, perusahaan ikut membayar sebesar 3,7 persen dari total gaji karyawan tersebut setiap bulan.
Dengan demikian, total iuran yang dibayarkan sebesar 5,7 persen dari total gaji karyawan untuk JHT hingga usia pensiun di 56 tahun.
“Kalau hanya 5 persen, saat pensiun nanti harus menurunkan gaya hidup signifikan. Tidak cukup,” ujar Budi.
Sebaiknya, sambung Budi, masyarakat harus menambah tabungan hari tua dengan membeli produk di perusahaan asuransi atau DPLK. Jika gaji yang dipotong dari JHT sudah 5 persen, artinya masyarakat hanya perlu menyisihkan sekitar 10 persen-15 persen dari total gaji untuk produk di DPLK atau tabungan hari tua.
“Jadi kalau sudah punya JHT tidak mulai dari nol, itu poin positifnya. Tapi jangan ditunda-tunda karena harus disiapkan dalam jangka panjang,” tegas Budi.
Kemudian, seluruh dana untuk hari tua sebaiknya dipendam hingga memasuki masa pensiun atau sudah tidak produktif. Hal ini agar masyarakat memiliki ‘pegangan’ yang utuh ketika sudah tidak bekerja lagi di perusahaan dan menerima gaji rutin per bulan.
Sementara, Direktur Eksekutif DPLK Syariah Muamalat Lilies Sulistyowati menjelaskan DPLK seperti menabung di bank. Tak ada ketentuan khusus terkait pembayaran premi seperti di perusahaan asuransi.
“Rp100 ribu per bulan juga sudah bisa,” ucap Lilies.
Lalu, masyarakat dapat memilih instrumen investasi yang diinginkan. Di sini, manajemen menawarkan tiga jenis paket.
Paket A berisi instrumen deposito dan pasar uang. Paket B berisi instrumen sukuk, dan paket C berisi reksa dana dan saham.
Sebagai gambaran, dengan asumsi pensiun di usia 55 tahun dan menjadi peserta DPLK di usia 20 tahun dengan iuran Rp100 ribu per bulan, maka dana yang berpotensi didapat saat usia 55 tahun mencapai Rp728,98 juta.
Namun, kalau baru menjadi peserta di usia 25 tahun, dana yang didapat ketika pensiun di usia 55 tahun dengan iuran Rp100 ribu per bulan adalah Rp540,11 juta.
Jumlah tersebut dengan asumsi tingkat bagi hasil investasi setara 8 persen per tahun untuk instrumen deposito dan pasar uang, kenaikan iuran 10 persen per tahun, biaya administrasi Rp2.000 per bulan, serta biaya pengelolaan 1,25 persen per tahun jika saldo kurang dari Rp100 juta atau 1 persen per tahun jika saldo lebih dari Rp100 juta.
“(Potensi dana yang dicairkan dan keuntungan investasi) berubah sesuai kondisi pasar. Sebagai gambaran, deposito sekarang kan tidak bisa 8 persen seperti tahun-tahun kemarin, sekarang hanya 3 persen kan,” jelas Lilies.
Perusahaan, kata Lilies, akan memperbarui informasi mengenai potensi dana yang didapat ketika memasuki masa pensiun setiap bulan di website.
Ia menambahkan manajemen menetapkan seluruh dana dapat dicairkan minimal di usia 40 tahun. Peserta bebas apakah ingin langsung mencairkan dana ketika menginjakkan usia di 40 tahun atau benar-benar saat pensiun.
“Masa kepesertaan untuk bisa mencairkan dananya dianjurkan sesuai usia pensiun, agar apabila sudah pensiun punya dana cadangan,” tutup Lilies. (aud/agt)
Sumber: cnnindonesia.com